
saat aku bertandang ke rumah seorang petani sayur, hanya senyum tipis yang mengembang di bibirnya. kata dia, belakangan ini sayurnya tak seperti dulu. ya warnanya, ya ukurannya, dan yang pasti pengaruh ke kantongnya. masalahnya satu, harga kebutuhan sayur tak semurah dulu. ada bibit yang harus dibeli, ada pupuk yang harus dibeli, ada obat anti hama yang harus dibeli. namun petani sayur tetaplah petani sayur. sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang (begitulah pemredku menuliskan sms beberapa malam lewat). merasa tak ada keahlian lain selain betanam sayuran tadi, ya akhirnya bertahan dengan kondisi yang ada.
berbincang dengan petani sayur menghasilkan keasyikan tersendiri. bahkan, saat ia mengajakku ke samping rumahnya yang terbuat dari papan kayu, serasa jadi toke sayur. aku merasa sawi yang ditanamnya sudah menggiurkan hati, menantang lidah untuk mencicipinya ketika sudah tersaji di atas piring. begitu luas. begitu hijau. tetapi lagi-lagi hal itu tak memuaskan si petani.
"kalau harga pupuknya tak mahal, sayuran ini mendapatkan makanan yang cukup. lebih besar lagi daunnya, lebih hijau warnanya," kata dia. hm, susah juga jadi petani. dulu, saat negara ini masih jaya, berhasil swasembada beras, kita hanya menyebut petani zaman itu hebat. tak ada prasasti. saat zaman berubah, krisis menggerogoti nadi bangsa ini, petani terpuruk. juga bidang dan profesi lainnya (selain koruptor tentu saja), kita hanya mampu mengatakan: ah, kasihan petani.
No comments:
Post a Comment